Memacu Nafsu Liar di Bali
페이지 정보
작성자 Velma Breeze 작성일 24-07-09 08:05 조회 6 댓글 0본문
Sebenarnya aku tak pernah semalas ini sebelumnya, dapat kupastikan tak pernah sekalipun! seingatku, baru kali ini aku menjadi seorang pemalas yang kerjaannya hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan sesuatu apa pun, selain memikirkan masa lalu ditemani gemuruh ombak pantai yang sesekali tampak menggelora, seperti gejolak masa mudaku. Yah, kupikir sesekali bermalas-malasan seperti ini oke juga! aku bagai sedang menikmati hidupku, masa mudaku, tanpa memikirkan diktat-diktat kuliah yang menumpuk di meja belajarku di Melbourne. Mengingat kota itu, sama saja mengingat segudang tugas kuliah, laporan praktikum, dan tampang dosen paling eksentrik di kampus, Mr Brown. Menjengkelkan!
Oke, sampai disini aku rasa aku sudah kebanyakan basa-basi. Aku lupa kalau aku harus memperkenalkan diriku, lucu yah?!? pepatah bilang: Tak kenal maka tak sayang, benar nggak? Namaku sebut saja Steve, I’m 23 years old in the mid of this year. Aku asli warganegara Indonesia, sekalipun di dalam darahku, mengalir darah campuran Western dan Chineese. Kini aku berada di Bali hanya dalam rangka berlibur, setelah aku menyelesaikan studiku di Melbourne.
Mungkin, para pembaca yang kucintai bertanya-tanya, mengapa aku menulis untuk situs ini? Apa aku kurang kerjaan? Tentu saja, tidak! lantas, mengapa aku menulis untuk kolom sesama pria? Apakah aku ini gay atau homoseksual? Mungkin! Aku pun kadangkala bingung sendiri dengan orientasi seksualku, apakah aku ini gay? Tetapi kalau divonis seperti itu, aku sendiri tak bisa menjawab iya! Petualangan cintaku sebetulnya cukup banyak dan mungkin bagi sebagian orang tampak begitu rumit. Aku juga pernah jatuh cinta pada wanita, bahkan sekali waktu aku pernah memacari dua wanita sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan, namun tak bertahan lama. Kami putus setelah mereka sadar bahwa aku ini bukan tipe cowok yang setia, hah. Bagaimana bisa setia kalau cintaku harus terbagi fifty-fifty.
Waktu duduk di bangku SMU, aku juga pernah beberapa kali berpacaran dengan beberapa gadis top di sekolah, tapi yang paling berkesan tentu saja dengan seorang anggota cheerleader, sebut saja namanya Mawar. Dia adalah pengalaman pertamaku, mengenal apa yang disebut hubungan seks. Sampai detik ini, aku tak pernah lagi melakukannya dengan wanita, sekalipun di Melbourne kesempatan untuk berbuat seperti itu terbuka lebar untukku. Tetapi, disela-sela perjalanan cintaku dengan beberapa cewek itu, aku tak bisa mengingkari, bahwa ada terselip nama beberapa orang teman cowok yang pernah mengarungi lautan asmara bersamaku. Itu yang coba kuceritakan pada para pembaca saat ini, satu demi satu berdasarkan apa yang aku ingat. Setidaknya ada tiga orang yang menorehkan kesan mendalam untukku, Denny, Valent, dan seorang lagi adalah cowok Taiwan yang satu kelas denganku di Melbourne, sebut saja namanya Zai-Zai.
Aku mulai dari Denny, teman cowok yang aku kenal ketika kami sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMP. Kami memang tidak satu sekolah, aku mengenalnya dalam sebuah pertandingan volley antar sekolah dimana team volley kebanggaan sekolah kami bertemu dengan team sekolah Denny di babak final. Dengan tidak melebih-lebihkan, jujur kuakui kalau Denny itu jago banget main volley. Pantas, kalau teman-temanku yang mengenalnya sebelum aku, menyebut Denny "sang Maestro dari SMP 12", kehebatannya dibuktikan dengan menang telak atas tim sekolahku waktu itu. Tetapi meski begitu, ia tipe cowok yang low profile, dan itu yang paling aku suka dari kepribadiannya. Kalau bicara tentang penampilan fisik, sekalipun bagiku itu nomor dua, Denny tak terlalu mengecewakan. Senyuman dan tampangnya sekilas mirip bintang iklan mie gelas yang ada di TV, aku tak tahu nama bintang iklan itu, tapi kurang lebih seperti itulah Denny.
Sesaat setelah pertandingan final usai, dan tim Denny dinyatakan sebagai pemenang, Aku masih ingat betul ketika anggota tim kami dan tim lawan bergantian saling berjabat tangan dan saling peluk sebagai tanda persahabatan dan sportivitas. Ketika giliranku memeluk tubuh Denny, pornhat aku seolah merasakan getaran batin yang begitu kuat di dadaku, aku deg-degan! Kupikir, barangkali itu dikarenakan aura Denny yang memancarkan karisma yang begitu kuat di dalam dirinya. Hah, Denny. Mengingatnya, membuat gejolak dan gairah masa remajaku bangkit kembali. Kini, Aku memang merindukannya, ingin sekali aku bertemu dengannya dan mengulangi apa yang pernah kami lakukan ketika usia kami masih dianggap anak bau kencur.
Suatu sore, aku merasa kejenuhan yang teramat sangat. Entah mengapa, aku sendiri tak tahu. Tapi yang jelas, aku lagi BeTe. Kerjaanku sejak siang hanya mengurung diri di kamar, tapi tak bisa tidur. Sesekali aku keluar hanya untuk mondar-mandir bak orang linglung. Lama-kelamaan aku bisa gila kalau tidak melakukan apa-apa, pikirku. Papa dan Mama belum pulang, sebenarnya ini merupakan kesempatan besar bagiku kalau aku mau "kabur" dengan BMW kesayangan papa. Papa nggak akan mengijinkan aku keluar kalau ia sudah datang, apalagi membawa BMW-nya. Katanya, saat berkumpul bersama keluarga adalah saat yang sangat penting. Hah, omong kosong! Tiap hari mereka berdua keluyuran sendiri dan pulang tidak pernah sebelum jam delapan, sementara aku dilupakan. Kalau pun ingat, paling-paling hanya dibawakan oleh-oleh sebungkus fried chicken kegemaranku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, aku harus pergi sekarang atau tidak sama sekali! Aku cepat-cepat saja kembali ke kamarku, menukar kaos oblongku dengan kaos kutung. Kalau keluyuran, aku lebih suka pakai kaos kutung. Aku memang tak begitu acuh dengan pakaian dan formalitas. Kalau enak dan aku suka, yah kupakai! Lagian, kata beberapa teman, lenganku berotot, jadi tampak seksi kalau aku pakai kaos kutungan. Hah, mereka memang ada-ada saja. Coba yang bilang begitu bukan orang berotak rada sinting seperti mereka, pasti PD-ku bakal lebih meningkat!
Aku tahu pasti dimana papaku biasa menyimpan kunci duplikat BMW-nya, yaitu di laci kamar yang kadang-kadang tidak dikunci kalau waktunya Mbok Ran membersihkan kamar. Dan sungguh, Dewi keberuntungan memang berpihak padaku sore itu, maka langsung kusikat saja sebuah kunci mobil dan STNK dari dalam laci kamar papa yang memang tidak dikunci. Mbok Ran memergokiku dan beliau sempat mencegahku, tapi aku cuek saja, malahan aku menggodanya dengan mencium pipinya dan langsung kabur. Cewek mana sih yang tidak akan terhipnotis setelah mendapat ciuman mautku? Kujamin, pasti Mbok Ran tidak akan membasuh mukanya sampai hari ketujuh, hah. Anak juragan yang nakal!
Sore itu sebetulnya aku sudah tahu pasti kemana aku akan pergi dengan BMW papaku, yaitu ke SMP 12. Sore itu jadwal Denny latihan volley di sekolahnya, dan ia biasanya selesai latihan jam 6 sore, sepuluh menit lagi! Aku ingin sekalian menjemputnya dan sesudah itu mengajaknya jalan-jalan ke mall. Supaya Denny tidak pulang mendahuluiku, maka kuputuskan untuk menelponnya dulu. Hampir saja aku terlambat, Denny sebetulnya sudah selesai latihan saat itu dan ia memang akan segera pulang. Tapi begitu aku menelponnya dan menawarinya jalan-jalan, Denny tak kuasa untuk menolak. Anak satu ini ternyata suka keluyuran juga, gumamku seusai menutup HP sambil nyengir. Tak lama kemudian, aku sudah sampai di depan pagar SMP 12, di ujung jalan, Denny sudah tampak menungguku dengan memegang sebuah bola volley ditangannya.
"Mau jalan-jalan kemana, Steve?" tanyanya setelah duduk di sampingku di jok depan. Aku memandangnya sesaat sambil nyengir.
"Pokoknya ikut aja!" sahutku sambil menggerakkan persneling di samping pahaku.
Sejenak, sempat kuperhatikan pakaian sport yang dipakai Denny, kaos kutung dan celana pendek birunya yang sama persis dengan yang dipakainya ketika pertandingan dulu. Tak luput juga dari perhatianku, betis dan separuh pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Tapi jangan berburuk sangka dulu, waktu itu aku tidak berpikir jorok sama sekali, hanya saja aku sedikit kaget karena kupikir agak tidak wajar kalau usia seumuran kami, sudah punya bulu-bulu selebat itu, betisku saja sampai saat itu masih mulus.
"Gila, bulu kamu lebat banget, Den!" kataku sambil berdecak dan berlagak seolah aku mengaguminya, memang!
"Emangnya kenapa? enggak boleh?" tantang Denny.
"Enggak, enggak pa-pa kok! aku cuma rada iri, hehe," sahutku ngocol.
"Oh, gitu yah? kayak orang yang nggak punya bulu aja! Jangan pura-pura deh, yang disembunyiin pasti lebih lebat dari punyaku!" sahut Denny ngasal. Aku sih hanya senyam-senyum saja mendengarnya.
"Kalau kepengen tahu, bilang aja terus terang!" kataku dalam hati.
"Steve, antar aku pulang dulu yah. Masak jalan-jalan pakai baju beginian?" pinta Denny lagi.
Ia lantas menyebutkan alamat rumahnya yang tidak begitu jauh dari sekolah. Aku sih setuju saja mengantar Denny pulang dulu, biar sekalian aku juga tahu dimana rumahnya.
Setiba dirumahnya, Denny mengajakku masuk sebentar sementara menunggunya mandi dan ganti baju. Aku menunggu Denny mandi kurang lebih sepuluh menitan di ruang tamunya yang cukup luas. Sesudah itu, Denny turun dari kamarnya di lantai dua dengan pakaian yang tak jauh beda dengan pakaian yang aku pakai, setelan celana jeans dan kaos kutung, hanya saja ia melapisinya dengan jacket.
"Oke aku siap!" kata Denny kemudian sambil menutup restsleting celananya yang masih setengah terbuka karena terburu-buru. Denny keluar lebih dahulu, sementara aku menyeruput habis orange juice-ku yang masih tersisa separuh di atas meja tamu.
Singkat cerita, malam itu kami sempat berkeliling kota, berjalan-jalan di mall sambil menebar pesona, dan makan malam di salah satu restoran fast food. Tak begitu mengecewakan acara yang kami buat malam ini, paling tidak saat di mall, kami sempat berkenalan dengan beberapa orang gadis cantik, yang salah seorang diantaranya ternyata seorang artis sinetron.
Aku dan Denny memutuskan pulang setelah jam 10 malam, entah mengapa aku begitu senang malam itu. Aku benar-benar lupa bahwa ketika aku sampai di rumah nanti, aku harus siap menerima dampratan dari papa plus omelan dari Mama, atau paling parah aku tidak akan diberi uang saku selama seminggu. Tapi aku mulai merasa galau ketika dalam perjalanan pulang, pikiranku tidak bisa tenang memikirkan hukuman apa yang akan aku terima nanti. Dengan takut-takut, aku memutuskan untuk menelepon ke rumah setidaknya mengabarkan kalau aku pulang telat malam ini. Untunglah, yang menerima teleponku Mbok Ran. Dari beliau juga ku ketahui bahwa papa dan Mama tidak pulang malam ini karena harus menemani relasi papa menginap di hotel.
"Mbok Ran, aku malam ini kayaknya juga nggak pulang, aku nginap di rumah temanku, kerja PR!" kataku mengada-ada.
Padahal, aku belum bilang pada Denny, kalau aku mau menginap di rumahnya. Setelah, telepon kututup. Denny memandangku sambil mengernyitkan kening.
"Nginap di rumah teman? kerja PR? teman mana yang kamu maksud?" tanya Denny.
"Temanku yang di kutub selatan. Siapa lagi? ya kamulah! boleh kan aku nginap di tempatmu malam ini? kebetulan papa dan Mamaku nggak di rumah malam ini. Please," pintaku sambil berlagak memelas.
Denny tampak berpikir sebentar sambil mengernyitkan keningnya dan menggigit-gigit bibir bawahnya, seolah-olah keberatan menerimaku menginap di rumahnya.
"Ayo dong, jangan pelit-pelit! apa perlu bayar untuk nginap semalam?" gurauku masih dengan nada memelas. Lucu, baru seminggu kenal, sudah bisa seakrab gini.
"Oke, aku bilang sama ortu-ku dulu, sekalian aku tanya tarif sewa hotelnya semalam! soalnya yang punya hotel kan mereka. Tapi kalau seandainya ortu-ku lagi nggak mood or nggak setuju, jangan maksa loh yah! Lagian, belakangan ini banyak kasus perampokan rumah sih, jadi kemungkinan besar ortuku nggak sembarang terima orang iseng yang mau nginap," kata Denny sambil bermimik serius.
"Brengsek, emangnya aku maling apa?!?" sahutku ketus.
Tak lama sesudah itu, kami sampai di rumah Denny yang tampak asri sekalipun tak terlalu mewah dibandingkan rumah tetangganya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, malam itu kedua orang tua Denny tidak keberatan sama sekali kalau aku menginap di rumah mereka, bermalam sekamar dengan Denny di lantai dua. Denny mengantarku ke dalam kamarnya yang lumayan besar dan sejuk. Kupikir, kamar Denny masih lebih nyaman daripada kamarku.
Di sudut ruangan, tampak satu set meja belajar dengan buku-buku yang tertata rapi, disebelahnya ada seperangkat televisi, tape compo dan playstation. Semua koleksi CD-nya pun tertata apik disebuah rak panjang disebelahnya. Ternyata, Denny bukan cuma keren, namun orang yang perfeksionis dan cinta kerapian. Jauh berbeda dengan sifatku yang rada "jorok", hehe. Tetapi, para sesepuh bilang kalau "perbedaan itu indah"! (hah, membela diri nih!)
Wah, ini awal dari kisah yang menegangkan dalam ceritaku ini. Bermula pada saat Denny melepaskan pakaiannya satu per satu di depan mataku tanpa rasa canggung sedikit pun. Kala itu, pintu sudah terkunci, bahkan berani kupastikan seekor kecoa pun tidak akan bisa masuk, apalagi gajah! Entah kenapa, bagai terhipnotis, mataku melotot tak berkedip memandang tubuh mulusnya yang sesaat dipamerkan di hadapanku. Dadanya yang bidang dan putih mulus, perutnya yang datar, dan lebih lagi bulu-bulunya yang tampak mulai lebat di dada dan ketiaknya.
Denny tampak begitu macho dan jauh lebih seksi dengan bertelanjang dada dan hanya dibungkus oleh celana jeans ketat dengan sabuk besi yang mulai dibukanya perlahan. Denny bahkan sama sekali tidak canggung, bergerak kesana kemari di hadapanku sambil melepaskan pakaiannya dan kemudian menggantungnya satu per satu di balik pintu kamar.
Sementara aku, denyut jantungku berdegup lebih kencang, dan untuk sedikit menenangkannya, aku merangsek ke tengah spring bed sambil bersandar di tembok. Tatapan mataku belum lepas dari Denny. Entahlah, kurasa aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya ketika memandang tubuh teman-teman priaku. Bahkan sekalipun aku sering mandi bersama dengan kakak cowokku dan sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, aku tidak merasakan apa-apa.
Denny menarik restletingnya ke bawah, kemudian ia memelorotkan celana jeansnya yang agak sesak, ia tak langsung berganti celana, melainkan menggantung celana jeans tersebut di balik pintu dan sekalian mengambil celana kolornya yang juga tergantung di tempat yang sama. Karena itu, aku bisa menikmati pemandangan pahanya yang mulus, bulu-bulu yang tidak kalah lebatnya dari bagian atasnya, dan tentu saja CD G-Stringnya yang berwarna putih dan rada transparan mempertontonkan lubang pantatnya. Juga tak kalah menarik, yaitu tonjolan besar dibagian depan CD-nya itu.
Wow, sekilas saja aku melihatnya sudah membuat air liurku menetes tak keruan. Gila benar, badannya bagus banget, pikirku. Sementara itu, penis kesayanganku di bawah sana sudah mulai membatu, keras dan mulai terasa sesak memenuhi CD-ku. Sesaat, kumasukkan tanganku ke balik celanaku untuk membetulkan letak penisku agar tidak kejepit.
Usai tontonan yang cukup membikin jantungku hampir copot itu, Denny mendekatiku, tetap ia sama sekali tak menyadari kalau mataku jelalatan sejak tadi memandangi tubuhnya yang nyaris bugil. Denny duduk disisiku di atas ranjang, ia pun bersandar. Ia mengambil sebuah buku di meja yang ada di sisi ranjang. Setelah kuamati, ternyata buku yang dipegangnya adalah diktat Biologi kelas 2.
"Ngapain belajar itu? Ebtanas bukannya masih dua bulan lagi?" tanyaku heran.
"Iya sih, tapi besok aku ada try out. So, sorry banget kalau aku nemenin kamu sambil belajar. Nggak pa-pa kan? kamu kamu suka main PS, main aja asal jangan nyalain tape aja. Aku nggak bisa konsen kalau bising! enggak pa-pa kok, anggap aja rumah aku! hehe," gurau Denny sambil nyengir.
Aku sebenarnya rada kecewa mendengarnya, soalnya sebelumnya aku pikir kalau Denny bakal menemaniku ngobrol sepanjang malam, karena ada satu masalah yang ingin aku curhatin sama dia. Karena selama ini, aku belum menemukan seorang sahabat yang bisa aku percaya untuk menyimpan rahasia dan begitu dewasa seperti Denny.
Aku merapatkan badanku ke badan Denny, sambil berpura-pura membaca apa yang ia baca. Sementara Denny tampak begitu serius belajar dan membalik halaman demi halaman buku yang tebalnya lebih 2 cm itu. Karena saking konsentrasinya Denny belajar, timbul ide gilaku untuk membantu sedikit mengendurkan urat syaraf otaknya yang tegang.
Aku mengeluarkan jurusku yang pertama. Aku ambil dompetku dari saku belakang celanaku, lalu dari dalamnya aku ambil sebuah foto layak sensor, apalagi kalau bukan foto telanjang seorang cowok yang sedang full ereksi. Kemudian, foto itu kutaruh di tengah-tengah halaman buku yang sedang dibaca Denny. Kontan saja, Denny kaget melihatnya, dia sedikit marah karena aku ganggu, tapi mungkin waktu itu ia sempat curiga melihat aku punya foto seperti itu.
"Gila, apa ini?" katanya ketus sambil melemparkan foto itu atas ranjang.
Denny melanjutkan lagi belajarnya, mukanya setengah kusut. Tapi aksiku tak berhenti sampai disana, aku ambil foto itu dan kutunjukkan lagi pada Denny, kali ini tidak di atas lembaran buku, namun kusodorkan ke depan mukanya.
"Ini pelajaran yang kamu baca barusan, yang ini gambar anatomi tubuh manusia yang lebih jelas dan nyata, gimana?" kataku sambil nyengir.
Kemudian, aku sebutkan satu persatu bagian tubuh yang ada di gambar itu, berlagak seolah-olah seorang guru yang mengajari muridnya. Tetapi begitu sampai pada bagian vital yaitu penis, tanganku tak lagi menunjuk pada gambar, namun refleks meraba penis Denny sendiri.
"Yang ini namanya penis, mengerti?" kataku menantang, sementara itu tanganku tak mau beranjak memegang penis Denny, karena begitu pertama kali aku menyentuh penisnya, aku merasakan penis Denny sudah mengeras. Cukup lama juga aku meraba-raba penis Denny sampai akhirnya Denny menyingkirkan tanganku dari area terlarangnya.
"Stop, apa-apaan sih kamu ini?" bentak Denny sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Tapi sudah terlihat di raut mukanya, kalau Denny sudah tidak bisa sekonsen tadi menghadapi buku pelajaran yang dipegangnya. Ia hanya berpura-pura konsentrasi, aku tahu itu! Tapi aku sadar, aku tak boleh mengganggunya kalau ia tidak suka, takutnya ia malah jengkel dan mengusirku malam itu, apalagi jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.
Aku lantas berbaring, aku merasa rada capek, tapi anehnya aku tak ingin cepat tidur sebelum Denny tidur karena aku tak bisa tidur dalam keadaan terang benderang seperti saat itu, tetapi di samping itu, aku juga masih memikirkan tubuh telanjang Denny yang begitu seksi yang kulihat tadi.
Aku hanya berbaring tanpa memejamkan mata, kupandangi langit-langit sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Denny di sebelahku. Cukup lama aku menunggu, karena Denny baru berbaring setelah jam 1 dini hari. Raut mukanya sudah tampak kelelahan sekali. Tetapi anehnya, untuk beberapa saat, aku perhatikan kalau Denny seperti orang gelisah, beberapa kali ia membolak-balik posisi tidurnya seperti kue serabi.
"Mikirin apa? Kok nggak tidur-tidur?" tanyaku pelan.
Denny mengubah posisi tidurnya lagi, kali ini menghadap aku. Begitu dekatnya muka kami berdua, sehingga aku bisa melihat lebih jelas sepasang mata indahnya dan hidungnya yang mancung, serta bibir tipisnya yang menawan itu.
"Kau juga kenapa belum tidur?" katanya balik bertanya.
"Aku nggak biasa tidur jika lampu hidup!"
"Nah, sekarang lampu kan sudah kumatikan, tidurlah!"
"Den, aku suka kamu!" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku saat itu.
Denny hanya meresponnya dengan senyuman, aku tahu ia pasti menganggapku sedang bercanda pagi itu.
"Apa maksudmu? Emangnya apa yang kau sukai dari aku?"
"All. Awalnya sih aku sekedar kagum sama performance-mu, apalagi di lapangan. Tapi belakangan, aku jadi tambah suka sama kamu, barangkali semuanya. Entahlah, aku suka gayamu, kepribadianmu, your smiling face, dan semuanya. But, tolong jangan berpikir negatif dulu. Aku cuma nggak mau kehilangan seorang sohib kayak kamu. Be my close friend forever, please!" kataku pelan.
"Tentu, kenapa enggak? kamu ngomong gitu seolah-olah kita mau pisah aja. Tapi terus terang, aku memang punya banyak teman dan sahabat, tapi yang terasa paling spesial itu cuma kamu.."
"Really?" tanyaku setengah tak percaya, namun bercampur senang.
"Iya, soalnya kamu yang paling aneh sih. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu! Kamu itu teman aku yang paling lucu.. Hihi" kata Denny melucu.
Tapi aku tak tertawa, aku malah jengkel dibuatnya. Kuambil guling disebelahku dan kupukulkan ke mukanya, tentu saja hanya sebatas bercanda, "Dasar, semprul!" Kemudian, guling itu kubekapkan ke mukaku, kucoba untuk tidur. Denny pun tak terdengar suaranya lagi, ia tertidur.
Jam 2 lebih seperempat, ternyata aku belum tidur juga. Pikiranku masih galau, kemudian kunyalakan lampu kecil di meja yang ada tepat di sampingku. Kulirik tubuh Denny yang tergolek di sebelahku. Tubuh yang seksi dan sedang terlentang di depan mataku, membuat denyut jantungku makin tak keruan.
Celana kolornya sedikit tersingkap, sehingga CD putihnya tampak dari luar. Bagaimana dengan penisnya? aku sangat penasaran untuk dapat mengetahuinya. Seberapa besarnya, warnanya apa dan bagaimana rasanya jika kupegang dengan tanganku, seberapa lebat jembut-jembut yang mengelilinginya dan bagaimana rasanya jika kupegang, pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai berkecamuk dalam pikiranku? Apakah penis Denny "sekeren" orangnya?
Akhirnya karena sudah tak tahan lagi, tanganku mulai bergerilya menggerayangi tubuh Denny. Hal pertama yang aku lakukan adalah pemetaan lokasi, yaitu menumpangkan tanganku di atas bagian yang menonjol dari balik celana Denny. Aku meraba-raba perlahan sambil bergemetaran, dan mulai kurasakan setiap lekukan-lekukan penisnya.
Wow, lumayan besar juga, bagaimana jika sedang ereksi? Sementara itu, tangan kiriku sendiri kuselipkan ke sela-sela celanaku untuk menggapai batang kejantananku yang sudah mengeras. Di saat-saat yang menegangkan itu, aku berusaha menyinkronkan gerakan tangan kanan dan tangan kiriku agar bisa kurengkuh kenikmatan yang maksimal. Sekali-kali kukocok juga penisku yang panjangnya tak kurang dari 15 cm itu. Wow, nikmatnya!
Tak puas sampai di situ saja, aku melepaskan penisku dari genggaman. Supaya lebih leluasa, aku buka saja celana jeans-ku, sehingga aku setengah telanjang dengan hanya memakai singlet dan celana dalam. Penisku tegak dan bergoyang-goyang kesana kemari bagai batang bambu yang tertiup angin surga.
Sesudah itu, aku bangun dari posisi tidurku, aku setengah berjongkok di sebelah Denny. Apa lagi yang akan kulakukan, kalau bukan berusaha melepaskan celana kolor Denny agar aku bisa benar-benar menikmati penisnya dalam genggaman tanganku. Pasti akan lebih asyik tentunya! Dengan perlahan dan hati-hati sekali, aku mulai memelorotkan celana Denny sampai sebatas lutut. Dan kini, di depan mataku yang membuka lebar, terpampang sebuah pemandangan menakjubkan, paha Denny yang mulus dan penisnya yang hanya dibalut celana dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya memandangi tubuh lemah tak berdaya itu, aku sungguh menikmatinya. Luar biasa, pikirku. Kupegang lagi tonjolan itu, masih terasa sama seperti yang tadi, kudapat kesan ada sesuatu yang besar dan kokoh di balik CD itu, hanya saja kali ini lebih jelas terasa. Lalu kedekatkan wajahku ke tonjolan itu.
Harum semerbak mewangi aroma kejantanan seorang lelaki dari CD yang dipakainya. Kujulurkan lidahku, kujilati setiap lekukan pada seputar tonjolan itu dan bahkan ke seputar selangkangannya, dan kubaui setiap bulu-bulu halus yang tumbuh liar di paha Denny yang sangat mulus. Wow, nikmatnya!
Lantas setelah itu, tanganku yang sudah gatal sejak tadi pun mulai melancarkan agresinya, kusebut sebagai "agresi liar tak terkendali". Keselipkan tanganku ke balik CD itu, perlahan namun pasti aku coba untuk melepaskannya, dan berhasil sekalipun dengan sedikit kerja keras agar Denny tak sampai terbangun.
Wow, mulutku tanpa komando berdecak kagum menikmati apa yang kini ada di depan mataku. Jauh lebih menggiurkan dari sepotong ayam goreng atau bahkan steak termahal sekalipun. Sebuah sosis segar yang kecoklatan yang tampak lunglai! Ingin sekali aku segera mencicipinya dengan mulutku. Karena itu, tanpa komando, aku dekatkan lagi mulutku ke sosis itu.
"Plok!" penis Denny sudah tenggelam di dalam mulutku, perlahan namun pasti kumasukkan penis itu sampai tenggelam seluruhnya di dalam mulutku, lalu kuhisap, kulemot dan kuempot maju mundur.
Aku sedikit kaget dan melepaskan hisapanku ketika tubuh Denny bergerak dan ia berganti posisi. Kali ini sedikit menyulitkanku untuk menjangkau penisnya, karena Denny memeluk guling, sehingga aku hanya diberi pantatnya. Tapi tak apalah, pantatnya pun tak kalah menggiurkan. Aku berbaring di belakangnya, lalu kugesek-gesekkan penisku ke pantatnya, sementara tanganku meraba-raba perut, dada dan puting susunya secara bergantian. Tapi tak hanya itu, aku juga mulai memberanikan diri untuk menciumi leher dan pipinya yang bersih dan halus. Tapi karena aksiku itu, Denny bergerak-gerak. Mungkin ia merasa geli akibat agresi yang kulancarkan. Tapi untunglah, Denny tak sampai terbangun, atau ia memang pura-pura tidur agar aku bisa tetap leluasa menggerayanginya, aku juga tak tahu dan aku tak peduli!
Bau deodoran yang dipakai Denny malah membuatku makin horny dan membuat lidahku betah berlama-lama menghisap seluruh bagian tubuhnya, bahkan di balik ketiaknya sekalipun, aku suka dengan rasa geli akibat gesekan wajahku dengan bulu-bulu ketiak Denny yang lumayan lebat. Ketika kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Dari balik punggungnya, aku coba untuk meraih penis Denny yang panjangnya dapat kuperkirakan tak kurang dari 16 cm jika sedang ereksi itu. Dapat! Aku kocok perlahan sambil kugesek-gesekkan kemaluanku ke lubang pantatnya, berirama dan sungguh menggairahkan!
Paginya, aku terbangun jam 6 pagi setelah kudengar suara seseorang menggedor pintu kamar seraya memanggil-manggil nama Denny, ternyata itu suara pembantu di rumah Denny. Sementara itu kulihat Denny masih terlelap di sebelahku, tentu saja ia masih tak bercelana dan penisnya tampak begitu perkasa pagi itu. Sesudah aku terbangun, Denny pun menyusul.
Dengan masih setengah mengantuk, betapa kagetnya ia mengetahui kalau ia tak bercelana saat itu. Ia segera mengambil celana kolor dan CDnya yang bergeletakan di atas kasur, kemudian ia memakainya dan langsung ke kamar mandi di dalam ruangan itu, ia tak berkata sepatah kata pun. Aku tahu, ia pasti marah padaku.
Ketika aku masih linglung dan pikiranku kacau memikirkan kemarahan macam apa yang akan diluapkan oleh Denny, tiba-tiba kudengar Denny memanggil namaku sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi.
"Kenapa bengong saja? Kau tidak mandi? Kita sudah kesiangan ke sekolah tahu!" katanya sambil melemparkan handuknya ke mukaku.
"Kau sudah selesai?" sahutku dengan gagap.
"Belum, mandi sama-sama aja disini. Airnya segar!" ajaknya yang langsung kutanggapi dengan girang.
Kebetulan sekali, pikirku. Ternyata dugaanku meleset total, Denny tidak marah sama sekali padaku. Aku tahu Denny memang terkenal orang yang sabar, karenanya banyak cewek yang kepincut sama dia.
Aku segera bangkit dari kasur pegas itu dan bergegas menuju kamar mandi sebelum pintu itu tertutup lagi untukku, atau lebih jelasnya sebelum Denny berubah pikiran! Wow, di dalam kamar mandi pagi itu, mataku benar-benar bisa terpuaskan menikmati setiap lekukan tubuh Denny yang atletis, mungkin begitu pun sebaliknya, jika Denny menyukai tubuhku juga. Kami berdua benar-benar berbugil ria, tanpa tertutupi oleh sehelai benang pun di tubuh kami.
Sejak hari itu aku jadi keranjingan untuk main-main dan bahkan menginap di rumah Denny, yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku setelah rumah yang dibeli ortuku sendiri. Aku sering belajar bersama di sana, nonton vCD, main PS dan termasuk melakukan "hal-hal" yang menyenangkan. Namun sebetulnya kami lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama kala itu, karena kami sedang dalam persiapan menghadapi Ebtanas.
Sampai akhirnya kami berdua bisa lulus dengan nilai yang boleh dikata memuaskan. Dan aku sadar, bahwa keberhasilan itu juga berkat persahabatan kami. Namun sejak memasuki SMU, kami berpisah. Aku melanjutkan SMU-ku di negeri kangguru, sedangkan Denny hijrah ke Jakarta. Sejak itu kami betul-betul putus hubungan.
Lantas, kalau kalian bertanya dimana Denny sekarang? Sebelum aku menjawabnya, aku ingin bertanya: Percayakah kalian pada apa yang dinamakan "kebetulan yang menyenangkan"? Kalau kalian percaya itu, mungkin semacam itulah yang aku alami ketika tak sengaja aku bertemu dengan Denny di hotel ini dua hari lalu. Kami ternyata sama-sama menginap di hotel yang sama, dan kini Denny sedang bersamaku menghadapi laptop kecil ini. Bahkan yang lebih gila lagi, ia kini sedang asyik memain-mainkan penisku di lidahnya.
"Argh, terus, Den, terus!"
Oke, sampai disini aku rasa aku sudah kebanyakan basa-basi. Aku lupa kalau aku harus memperkenalkan diriku, lucu yah?!? pepatah bilang: Tak kenal maka tak sayang, benar nggak? Namaku sebut saja Steve, I’m 23 years old in the mid of this year. Aku asli warganegara Indonesia, sekalipun di dalam darahku, mengalir darah campuran Western dan Chineese. Kini aku berada di Bali hanya dalam rangka berlibur, setelah aku menyelesaikan studiku di Melbourne.
Mungkin, para pembaca yang kucintai bertanya-tanya, mengapa aku menulis untuk situs ini? Apa aku kurang kerjaan? Tentu saja, tidak! lantas, mengapa aku menulis untuk kolom sesama pria? Apakah aku ini gay atau homoseksual? Mungkin! Aku pun kadangkala bingung sendiri dengan orientasi seksualku, apakah aku ini gay? Tetapi kalau divonis seperti itu, aku sendiri tak bisa menjawab iya! Petualangan cintaku sebetulnya cukup banyak dan mungkin bagi sebagian orang tampak begitu rumit. Aku juga pernah jatuh cinta pada wanita, bahkan sekali waktu aku pernah memacari dua wanita sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan, namun tak bertahan lama. Kami putus setelah mereka sadar bahwa aku ini bukan tipe cowok yang setia, hah. Bagaimana bisa setia kalau cintaku harus terbagi fifty-fifty.
Waktu duduk di bangku SMU, aku juga pernah beberapa kali berpacaran dengan beberapa gadis top di sekolah, tapi yang paling berkesan tentu saja dengan seorang anggota cheerleader, sebut saja namanya Mawar. Dia adalah pengalaman pertamaku, mengenal apa yang disebut hubungan seks. Sampai detik ini, aku tak pernah lagi melakukannya dengan wanita, sekalipun di Melbourne kesempatan untuk berbuat seperti itu terbuka lebar untukku. Tetapi, disela-sela perjalanan cintaku dengan beberapa cewek itu, aku tak bisa mengingkari, bahwa ada terselip nama beberapa orang teman cowok yang pernah mengarungi lautan asmara bersamaku. Itu yang coba kuceritakan pada para pembaca saat ini, satu demi satu berdasarkan apa yang aku ingat. Setidaknya ada tiga orang yang menorehkan kesan mendalam untukku, Denny, Valent, dan seorang lagi adalah cowok Taiwan yang satu kelas denganku di Melbourne, sebut saja namanya Zai-Zai.
Aku mulai dari Denny, teman cowok yang aku kenal ketika kami sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMP. Kami memang tidak satu sekolah, aku mengenalnya dalam sebuah pertandingan volley antar sekolah dimana team volley kebanggaan sekolah kami bertemu dengan team sekolah Denny di babak final. Dengan tidak melebih-lebihkan, jujur kuakui kalau Denny itu jago banget main volley. Pantas, kalau teman-temanku yang mengenalnya sebelum aku, menyebut Denny "sang Maestro dari SMP 12", kehebatannya dibuktikan dengan menang telak atas tim sekolahku waktu itu. Tetapi meski begitu, ia tipe cowok yang low profile, dan itu yang paling aku suka dari kepribadiannya. Kalau bicara tentang penampilan fisik, sekalipun bagiku itu nomor dua, Denny tak terlalu mengecewakan. Senyuman dan tampangnya sekilas mirip bintang iklan mie gelas yang ada di TV, aku tak tahu nama bintang iklan itu, tapi kurang lebih seperti itulah Denny.
Sesaat setelah pertandingan final usai, dan tim Denny dinyatakan sebagai pemenang, Aku masih ingat betul ketika anggota tim kami dan tim lawan bergantian saling berjabat tangan dan saling peluk sebagai tanda persahabatan dan sportivitas. Ketika giliranku memeluk tubuh Denny, pornhat aku seolah merasakan getaran batin yang begitu kuat di dadaku, aku deg-degan! Kupikir, barangkali itu dikarenakan aura Denny yang memancarkan karisma yang begitu kuat di dalam dirinya. Hah, Denny. Mengingatnya, membuat gejolak dan gairah masa remajaku bangkit kembali. Kini, Aku memang merindukannya, ingin sekali aku bertemu dengannya dan mengulangi apa yang pernah kami lakukan ketika usia kami masih dianggap anak bau kencur.
Suatu sore, aku merasa kejenuhan yang teramat sangat. Entah mengapa, aku sendiri tak tahu. Tapi yang jelas, aku lagi BeTe. Kerjaanku sejak siang hanya mengurung diri di kamar, tapi tak bisa tidur. Sesekali aku keluar hanya untuk mondar-mandir bak orang linglung. Lama-kelamaan aku bisa gila kalau tidak melakukan apa-apa, pikirku. Papa dan Mama belum pulang, sebenarnya ini merupakan kesempatan besar bagiku kalau aku mau "kabur" dengan BMW kesayangan papa. Papa nggak akan mengijinkan aku keluar kalau ia sudah datang, apalagi membawa BMW-nya. Katanya, saat berkumpul bersama keluarga adalah saat yang sangat penting. Hah, omong kosong! Tiap hari mereka berdua keluyuran sendiri dan pulang tidak pernah sebelum jam delapan, sementara aku dilupakan. Kalau pun ingat, paling-paling hanya dibawakan oleh-oleh sebungkus fried chicken kegemaranku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, aku harus pergi sekarang atau tidak sama sekali! Aku cepat-cepat saja kembali ke kamarku, menukar kaos oblongku dengan kaos kutung. Kalau keluyuran, aku lebih suka pakai kaos kutung. Aku memang tak begitu acuh dengan pakaian dan formalitas. Kalau enak dan aku suka, yah kupakai! Lagian, kata beberapa teman, lenganku berotot, jadi tampak seksi kalau aku pakai kaos kutungan. Hah, mereka memang ada-ada saja. Coba yang bilang begitu bukan orang berotak rada sinting seperti mereka, pasti PD-ku bakal lebih meningkat!
Aku tahu pasti dimana papaku biasa menyimpan kunci duplikat BMW-nya, yaitu di laci kamar yang kadang-kadang tidak dikunci kalau waktunya Mbok Ran membersihkan kamar. Dan sungguh, Dewi keberuntungan memang berpihak padaku sore itu, maka langsung kusikat saja sebuah kunci mobil dan STNK dari dalam laci kamar papa yang memang tidak dikunci. Mbok Ran memergokiku dan beliau sempat mencegahku, tapi aku cuek saja, malahan aku menggodanya dengan mencium pipinya dan langsung kabur. Cewek mana sih yang tidak akan terhipnotis setelah mendapat ciuman mautku? Kujamin, pasti Mbok Ran tidak akan membasuh mukanya sampai hari ketujuh, hah. Anak juragan yang nakal!
Sore itu sebetulnya aku sudah tahu pasti kemana aku akan pergi dengan BMW papaku, yaitu ke SMP 12. Sore itu jadwal Denny latihan volley di sekolahnya, dan ia biasanya selesai latihan jam 6 sore, sepuluh menit lagi! Aku ingin sekalian menjemputnya dan sesudah itu mengajaknya jalan-jalan ke mall. Supaya Denny tidak pulang mendahuluiku, maka kuputuskan untuk menelponnya dulu. Hampir saja aku terlambat, Denny sebetulnya sudah selesai latihan saat itu dan ia memang akan segera pulang. Tapi begitu aku menelponnya dan menawarinya jalan-jalan, Denny tak kuasa untuk menolak. Anak satu ini ternyata suka keluyuran juga, gumamku seusai menutup HP sambil nyengir. Tak lama kemudian, aku sudah sampai di depan pagar SMP 12, di ujung jalan, Denny sudah tampak menungguku dengan memegang sebuah bola volley ditangannya.
"Mau jalan-jalan kemana, Steve?" tanyanya setelah duduk di sampingku di jok depan. Aku memandangnya sesaat sambil nyengir.
"Pokoknya ikut aja!" sahutku sambil menggerakkan persneling di samping pahaku.
Sejenak, sempat kuperhatikan pakaian sport yang dipakai Denny, kaos kutung dan celana pendek birunya yang sama persis dengan yang dipakainya ketika pertandingan dulu. Tak luput juga dari perhatianku, betis dan separuh pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Tapi jangan berburuk sangka dulu, waktu itu aku tidak berpikir jorok sama sekali, hanya saja aku sedikit kaget karena kupikir agak tidak wajar kalau usia seumuran kami, sudah punya bulu-bulu selebat itu, betisku saja sampai saat itu masih mulus.
"Gila, bulu kamu lebat banget, Den!" kataku sambil berdecak dan berlagak seolah aku mengaguminya, memang!
"Emangnya kenapa? enggak boleh?" tantang Denny.
"Enggak, enggak pa-pa kok! aku cuma rada iri, hehe," sahutku ngocol.
"Oh, gitu yah? kayak orang yang nggak punya bulu aja! Jangan pura-pura deh, yang disembunyiin pasti lebih lebat dari punyaku!" sahut Denny ngasal. Aku sih hanya senyam-senyum saja mendengarnya.
"Kalau kepengen tahu, bilang aja terus terang!" kataku dalam hati.
"Steve, antar aku pulang dulu yah. Masak jalan-jalan pakai baju beginian?" pinta Denny lagi.
Ia lantas menyebutkan alamat rumahnya yang tidak begitu jauh dari sekolah. Aku sih setuju saja mengantar Denny pulang dulu, biar sekalian aku juga tahu dimana rumahnya.
Setiba dirumahnya, Denny mengajakku masuk sebentar sementara menunggunya mandi dan ganti baju. Aku menunggu Denny mandi kurang lebih sepuluh menitan di ruang tamunya yang cukup luas. Sesudah itu, Denny turun dari kamarnya di lantai dua dengan pakaian yang tak jauh beda dengan pakaian yang aku pakai, setelan celana jeans dan kaos kutung, hanya saja ia melapisinya dengan jacket.
"Oke aku siap!" kata Denny kemudian sambil menutup restsleting celananya yang masih setengah terbuka karena terburu-buru. Denny keluar lebih dahulu, sementara aku menyeruput habis orange juice-ku yang masih tersisa separuh di atas meja tamu.
Singkat cerita, malam itu kami sempat berkeliling kota, berjalan-jalan di mall sambil menebar pesona, dan makan malam di salah satu restoran fast food. Tak begitu mengecewakan acara yang kami buat malam ini, paling tidak saat di mall, kami sempat berkenalan dengan beberapa orang gadis cantik, yang salah seorang diantaranya ternyata seorang artis sinetron.
Aku dan Denny memutuskan pulang setelah jam 10 malam, entah mengapa aku begitu senang malam itu. Aku benar-benar lupa bahwa ketika aku sampai di rumah nanti, aku harus siap menerima dampratan dari papa plus omelan dari Mama, atau paling parah aku tidak akan diberi uang saku selama seminggu. Tapi aku mulai merasa galau ketika dalam perjalanan pulang, pikiranku tidak bisa tenang memikirkan hukuman apa yang akan aku terima nanti. Dengan takut-takut, aku memutuskan untuk menelepon ke rumah setidaknya mengabarkan kalau aku pulang telat malam ini. Untunglah, yang menerima teleponku Mbok Ran. Dari beliau juga ku ketahui bahwa papa dan Mama tidak pulang malam ini karena harus menemani relasi papa menginap di hotel.
"Mbok Ran, aku malam ini kayaknya juga nggak pulang, aku nginap di rumah temanku, kerja PR!" kataku mengada-ada.
Padahal, aku belum bilang pada Denny, kalau aku mau menginap di rumahnya. Setelah, telepon kututup. Denny memandangku sambil mengernyitkan kening.
"Nginap di rumah teman? kerja PR? teman mana yang kamu maksud?" tanya Denny.
"Temanku yang di kutub selatan. Siapa lagi? ya kamulah! boleh kan aku nginap di tempatmu malam ini? kebetulan papa dan Mamaku nggak di rumah malam ini. Please," pintaku sambil berlagak memelas.
Denny tampak berpikir sebentar sambil mengernyitkan keningnya dan menggigit-gigit bibir bawahnya, seolah-olah keberatan menerimaku menginap di rumahnya.
"Ayo dong, jangan pelit-pelit! apa perlu bayar untuk nginap semalam?" gurauku masih dengan nada memelas. Lucu, baru seminggu kenal, sudah bisa seakrab gini.
"Oke, aku bilang sama ortu-ku dulu, sekalian aku tanya tarif sewa hotelnya semalam! soalnya yang punya hotel kan mereka. Tapi kalau seandainya ortu-ku lagi nggak mood or nggak setuju, jangan maksa loh yah! Lagian, belakangan ini banyak kasus perampokan rumah sih, jadi kemungkinan besar ortuku nggak sembarang terima orang iseng yang mau nginap," kata Denny sambil bermimik serius.
"Brengsek, emangnya aku maling apa?!?" sahutku ketus.
Tak lama sesudah itu, kami sampai di rumah Denny yang tampak asri sekalipun tak terlalu mewah dibandingkan rumah tetangganya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, malam itu kedua orang tua Denny tidak keberatan sama sekali kalau aku menginap di rumah mereka, bermalam sekamar dengan Denny di lantai dua. Denny mengantarku ke dalam kamarnya yang lumayan besar dan sejuk. Kupikir, kamar Denny masih lebih nyaman daripada kamarku.
Di sudut ruangan, tampak satu set meja belajar dengan buku-buku yang tertata rapi, disebelahnya ada seperangkat televisi, tape compo dan playstation. Semua koleksi CD-nya pun tertata apik disebuah rak panjang disebelahnya. Ternyata, Denny bukan cuma keren, namun orang yang perfeksionis dan cinta kerapian. Jauh berbeda dengan sifatku yang rada "jorok", hehe. Tetapi, para sesepuh bilang kalau "perbedaan itu indah"! (hah, membela diri nih!)
Wah, ini awal dari kisah yang menegangkan dalam ceritaku ini. Bermula pada saat Denny melepaskan pakaiannya satu per satu di depan mataku tanpa rasa canggung sedikit pun. Kala itu, pintu sudah terkunci, bahkan berani kupastikan seekor kecoa pun tidak akan bisa masuk, apalagi gajah! Entah kenapa, bagai terhipnotis, mataku melotot tak berkedip memandang tubuh mulusnya yang sesaat dipamerkan di hadapanku. Dadanya yang bidang dan putih mulus, perutnya yang datar, dan lebih lagi bulu-bulunya yang tampak mulai lebat di dada dan ketiaknya.
Denny tampak begitu macho dan jauh lebih seksi dengan bertelanjang dada dan hanya dibungkus oleh celana jeans ketat dengan sabuk besi yang mulai dibukanya perlahan. Denny bahkan sama sekali tidak canggung, bergerak kesana kemari di hadapanku sambil melepaskan pakaiannya dan kemudian menggantungnya satu per satu di balik pintu kamar.
Sementara aku, denyut jantungku berdegup lebih kencang, dan untuk sedikit menenangkannya, aku merangsek ke tengah spring bed sambil bersandar di tembok. Tatapan mataku belum lepas dari Denny. Entahlah, kurasa aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya ketika memandang tubuh teman-teman priaku. Bahkan sekalipun aku sering mandi bersama dengan kakak cowokku dan sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, aku tidak merasakan apa-apa.
Denny menarik restletingnya ke bawah, kemudian ia memelorotkan celana jeansnya yang agak sesak, ia tak langsung berganti celana, melainkan menggantung celana jeans tersebut di balik pintu dan sekalian mengambil celana kolornya yang juga tergantung di tempat yang sama. Karena itu, aku bisa menikmati pemandangan pahanya yang mulus, bulu-bulu yang tidak kalah lebatnya dari bagian atasnya, dan tentu saja CD G-Stringnya yang berwarna putih dan rada transparan mempertontonkan lubang pantatnya. Juga tak kalah menarik, yaitu tonjolan besar dibagian depan CD-nya itu.
Wow, sekilas saja aku melihatnya sudah membuat air liurku menetes tak keruan. Gila benar, badannya bagus banget, pikirku. Sementara itu, penis kesayanganku di bawah sana sudah mulai membatu, keras dan mulai terasa sesak memenuhi CD-ku. Sesaat, kumasukkan tanganku ke balik celanaku untuk membetulkan letak penisku agar tidak kejepit.
Usai tontonan yang cukup membikin jantungku hampir copot itu, Denny mendekatiku, tetap ia sama sekali tak menyadari kalau mataku jelalatan sejak tadi memandangi tubuhnya yang nyaris bugil. Denny duduk disisiku di atas ranjang, ia pun bersandar. Ia mengambil sebuah buku di meja yang ada di sisi ranjang. Setelah kuamati, ternyata buku yang dipegangnya adalah diktat Biologi kelas 2.
"Ngapain belajar itu? Ebtanas bukannya masih dua bulan lagi?" tanyaku heran.
"Iya sih, tapi besok aku ada try out. So, sorry banget kalau aku nemenin kamu sambil belajar. Nggak pa-pa kan? kamu kamu suka main PS, main aja asal jangan nyalain tape aja. Aku nggak bisa konsen kalau bising! enggak pa-pa kok, anggap aja rumah aku! hehe," gurau Denny sambil nyengir.
Aku sebenarnya rada kecewa mendengarnya, soalnya sebelumnya aku pikir kalau Denny bakal menemaniku ngobrol sepanjang malam, karena ada satu masalah yang ingin aku curhatin sama dia. Karena selama ini, aku belum menemukan seorang sahabat yang bisa aku percaya untuk menyimpan rahasia dan begitu dewasa seperti Denny.
Aku merapatkan badanku ke badan Denny, sambil berpura-pura membaca apa yang ia baca. Sementara Denny tampak begitu serius belajar dan membalik halaman demi halaman buku yang tebalnya lebih 2 cm itu. Karena saking konsentrasinya Denny belajar, timbul ide gilaku untuk membantu sedikit mengendurkan urat syaraf otaknya yang tegang.
Aku mengeluarkan jurusku yang pertama. Aku ambil dompetku dari saku belakang celanaku, lalu dari dalamnya aku ambil sebuah foto layak sensor, apalagi kalau bukan foto telanjang seorang cowok yang sedang full ereksi. Kemudian, foto itu kutaruh di tengah-tengah halaman buku yang sedang dibaca Denny. Kontan saja, Denny kaget melihatnya, dia sedikit marah karena aku ganggu, tapi mungkin waktu itu ia sempat curiga melihat aku punya foto seperti itu.
"Gila, apa ini?" katanya ketus sambil melemparkan foto itu atas ranjang.
Denny melanjutkan lagi belajarnya, mukanya setengah kusut. Tapi aksiku tak berhenti sampai disana, aku ambil foto itu dan kutunjukkan lagi pada Denny, kali ini tidak di atas lembaran buku, namun kusodorkan ke depan mukanya.
"Ini pelajaran yang kamu baca barusan, yang ini gambar anatomi tubuh manusia yang lebih jelas dan nyata, gimana?" kataku sambil nyengir.
Kemudian, aku sebutkan satu persatu bagian tubuh yang ada di gambar itu, berlagak seolah-olah seorang guru yang mengajari muridnya. Tetapi begitu sampai pada bagian vital yaitu penis, tanganku tak lagi menunjuk pada gambar, namun refleks meraba penis Denny sendiri.
"Yang ini namanya penis, mengerti?" kataku menantang, sementara itu tanganku tak mau beranjak memegang penis Denny, karena begitu pertama kali aku menyentuh penisnya, aku merasakan penis Denny sudah mengeras. Cukup lama juga aku meraba-raba penis Denny sampai akhirnya Denny menyingkirkan tanganku dari area terlarangnya.
"Stop, apa-apaan sih kamu ini?" bentak Denny sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Tapi sudah terlihat di raut mukanya, kalau Denny sudah tidak bisa sekonsen tadi menghadapi buku pelajaran yang dipegangnya. Ia hanya berpura-pura konsentrasi, aku tahu itu! Tapi aku sadar, aku tak boleh mengganggunya kalau ia tidak suka, takutnya ia malah jengkel dan mengusirku malam itu, apalagi jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.
Aku lantas berbaring, aku merasa rada capek, tapi anehnya aku tak ingin cepat tidur sebelum Denny tidur karena aku tak bisa tidur dalam keadaan terang benderang seperti saat itu, tetapi di samping itu, aku juga masih memikirkan tubuh telanjang Denny yang begitu seksi yang kulihat tadi.
Aku hanya berbaring tanpa memejamkan mata, kupandangi langit-langit sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Denny di sebelahku. Cukup lama aku menunggu, karena Denny baru berbaring setelah jam 1 dini hari. Raut mukanya sudah tampak kelelahan sekali. Tetapi anehnya, untuk beberapa saat, aku perhatikan kalau Denny seperti orang gelisah, beberapa kali ia membolak-balik posisi tidurnya seperti kue serabi.
"Mikirin apa? Kok nggak tidur-tidur?" tanyaku pelan.
Denny mengubah posisi tidurnya lagi, kali ini menghadap aku. Begitu dekatnya muka kami berdua, sehingga aku bisa melihat lebih jelas sepasang mata indahnya dan hidungnya yang mancung, serta bibir tipisnya yang menawan itu.
"Kau juga kenapa belum tidur?" katanya balik bertanya.
"Aku nggak biasa tidur jika lampu hidup!"
"Nah, sekarang lampu kan sudah kumatikan, tidurlah!"
"Den, aku suka kamu!" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku saat itu.
Denny hanya meresponnya dengan senyuman, aku tahu ia pasti menganggapku sedang bercanda pagi itu.
"Apa maksudmu? Emangnya apa yang kau sukai dari aku?"
"All. Awalnya sih aku sekedar kagum sama performance-mu, apalagi di lapangan. Tapi belakangan, aku jadi tambah suka sama kamu, barangkali semuanya. Entahlah, aku suka gayamu, kepribadianmu, your smiling face, dan semuanya. But, tolong jangan berpikir negatif dulu. Aku cuma nggak mau kehilangan seorang sohib kayak kamu. Be my close friend forever, please!" kataku pelan.
"Tentu, kenapa enggak? kamu ngomong gitu seolah-olah kita mau pisah aja. Tapi terus terang, aku memang punya banyak teman dan sahabat, tapi yang terasa paling spesial itu cuma kamu.."
"Really?" tanyaku setengah tak percaya, namun bercampur senang.
"Iya, soalnya kamu yang paling aneh sih. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu! Kamu itu teman aku yang paling lucu.. Hihi" kata Denny melucu.
Tapi aku tak tertawa, aku malah jengkel dibuatnya. Kuambil guling disebelahku dan kupukulkan ke mukanya, tentu saja hanya sebatas bercanda, "Dasar, semprul!" Kemudian, guling itu kubekapkan ke mukaku, kucoba untuk tidur. Denny pun tak terdengar suaranya lagi, ia tertidur.
Jam 2 lebih seperempat, ternyata aku belum tidur juga. Pikiranku masih galau, kemudian kunyalakan lampu kecil di meja yang ada tepat di sampingku. Kulirik tubuh Denny yang tergolek di sebelahku. Tubuh yang seksi dan sedang terlentang di depan mataku, membuat denyut jantungku makin tak keruan.
Celana kolornya sedikit tersingkap, sehingga CD putihnya tampak dari luar. Bagaimana dengan penisnya? aku sangat penasaran untuk dapat mengetahuinya. Seberapa besarnya, warnanya apa dan bagaimana rasanya jika kupegang dengan tanganku, seberapa lebat jembut-jembut yang mengelilinginya dan bagaimana rasanya jika kupegang, pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai berkecamuk dalam pikiranku? Apakah penis Denny "sekeren" orangnya?
Akhirnya karena sudah tak tahan lagi, tanganku mulai bergerilya menggerayangi tubuh Denny. Hal pertama yang aku lakukan adalah pemetaan lokasi, yaitu menumpangkan tanganku di atas bagian yang menonjol dari balik celana Denny. Aku meraba-raba perlahan sambil bergemetaran, dan mulai kurasakan setiap lekukan-lekukan penisnya.
Wow, lumayan besar juga, bagaimana jika sedang ereksi? Sementara itu, tangan kiriku sendiri kuselipkan ke sela-sela celanaku untuk menggapai batang kejantananku yang sudah mengeras. Di saat-saat yang menegangkan itu, aku berusaha menyinkronkan gerakan tangan kanan dan tangan kiriku agar bisa kurengkuh kenikmatan yang maksimal. Sekali-kali kukocok juga penisku yang panjangnya tak kurang dari 15 cm itu. Wow, nikmatnya!
Tak puas sampai di situ saja, aku melepaskan penisku dari genggaman. Supaya lebih leluasa, aku buka saja celana jeans-ku, sehingga aku setengah telanjang dengan hanya memakai singlet dan celana dalam. Penisku tegak dan bergoyang-goyang kesana kemari bagai batang bambu yang tertiup angin surga.
Sesudah itu, aku bangun dari posisi tidurku, aku setengah berjongkok di sebelah Denny. Apa lagi yang akan kulakukan, kalau bukan berusaha melepaskan celana kolor Denny agar aku bisa benar-benar menikmati penisnya dalam genggaman tanganku. Pasti akan lebih asyik tentunya! Dengan perlahan dan hati-hati sekali, aku mulai memelorotkan celana Denny sampai sebatas lutut. Dan kini, di depan mataku yang membuka lebar, terpampang sebuah pemandangan menakjubkan, paha Denny yang mulus dan penisnya yang hanya dibalut celana dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya memandangi tubuh lemah tak berdaya itu, aku sungguh menikmatinya. Luar biasa, pikirku. Kupegang lagi tonjolan itu, masih terasa sama seperti yang tadi, kudapat kesan ada sesuatu yang besar dan kokoh di balik CD itu, hanya saja kali ini lebih jelas terasa. Lalu kedekatkan wajahku ke tonjolan itu.
Harum semerbak mewangi aroma kejantanan seorang lelaki dari CD yang dipakainya. Kujulurkan lidahku, kujilati setiap lekukan pada seputar tonjolan itu dan bahkan ke seputar selangkangannya, dan kubaui setiap bulu-bulu halus yang tumbuh liar di paha Denny yang sangat mulus. Wow, nikmatnya!
Lantas setelah itu, tanganku yang sudah gatal sejak tadi pun mulai melancarkan agresinya, kusebut sebagai "agresi liar tak terkendali". Keselipkan tanganku ke balik CD itu, perlahan namun pasti aku coba untuk melepaskannya, dan berhasil sekalipun dengan sedikit kerja keras agar Denny tak sampai terbangun.
Wow, mulutku tanpa komando berdecak kagum menikmati apa yang kini ada di depan mataku. Jauh lebih menggiurkan dari sepotong ayam goreng atau bahkan steak termahal sekalipun. Sebuah sosis segar yang kecoklatan yang tampak lunglai! Ingin sekali aku segera mencicipinya dengan mulutku. Karena itu, tanpa komando, aku dekatkan lagi mulutku ke sosis itu.
"Plok!" penis Denny sudah tenggelam di dalam mulutku, perlahan namun pasti kumasukkan penis itu sampai tenggelam seluruhnya di dalam mulutku, lalu kuhisap, kulemot dan kuempot maju mundur.
Aku sedikit kaget dan melepaskan hisapanku ketika tubuh Denny bergerak dan ia berganti posisi. Kali ini sedikit menyulitkanku untuk menjangkau penisnya, karena Denny memeluk guling, sehingga aku hanya diberi pantatnya. Tapi tak apalah, pantatnya pun tak kalah menggiurkan. Aku berbaring di belakangnya, lalu kugesek-gesekkan penisku ke pantatnya, sementara tanganku meraba-raba perut, dada dan puting susunya secara bergantian. Tapi tak hanya itu, aku juga mulai memberanikan diri untuk menciumi leher dan pipinya yang bersih dan halus. Tapi karena aksiku itu, Denny bergerak-gerak. Mungkin ia merasa geli akibat agresi yang kulancarkan. Tapi untunglah, Denny tak sampai terbangun, atau ia memang pura-pura tidur agar aku bisa tetap leluasa menggerayanginya, aku juga tak tahu dan aku tak peduli!
Bau deodoran yang dipakai Denny malah membuatku makin horny dan membuat lidahku betah berlama-lama menghisap seluruh bagian tubuhnya, bahkan di balik ketiaknya sekalipun, aku suka dengan rasa geli akibat gesekan wajahku dengan bulu-bulu ketiak Denny yang lumayan lebat. Ketika kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Dari balik punggungnya, aku coba untuk meraih penis Denny yang panjangnya dapat kuperkirakan tak kurang dari 16 cm jika sedang ereksi itu. Dapat! Aku kocok perlahan sambil kugesek-gesekkan kemaluanku ke lubang pantatnya, berirama dan sungguh menggairahkan!
Paginya, aku terbangun jam 6 pagi setelah kudengar suara seseorang menggedor pintu kamar seraya memanggil-manggil nama Denny, ternyata itu suara pembantu di rumah Denny. Sementara itu kulihat Denny masih terlelap di sebelahku, tentu saja ia masih tak bercelana dan penisnya tampak begitu perkasa pagi itu. Sesudah aku terbangun, Denny pun menyusul.
Dengan masih setengah mengantuk, betapa kagetnya ia mengetahui kalau ia tak bercelana saat itu. Ia segera mengambil celana kolor dan CDnya yang bergeletakan di atas kasur, kemudian ia memakainya dan langsung ke kamar mandi di dalam ruangan itu, ia tak berkata sepatah kata pun. Aku tahu, ia pasti marah padaku.
Ketika aku masih linglung dan pikiranku kacau memikirkan kemarahan macam apa yang akan diluapkan oleh Denny, tiba-tiba kudengar Denny memanggil namaku sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi.
"Kenapa bengong saja? Kau tidak mandi? Kita sudah kesiangan ke sekolah tahu!" katanya sambil melemparkan handuknya ke mukaku.
"Kau sudah selesai?" sahutku dengan gagap.
"Belum, mandi sama-sama aja disini. Airnya segar!" ajaknya yang langsung kutanggapi dengan girang.
Kebetulan sekali, pikirku. Ternyata dugaanku meleset total, Denny tidak marah sama sekali padaku. Aku tahu Denny memang terkenal orang yang sabar, karenanya banyak cewek yang kepincut sama dia.
Aku segera bangkit dari kasur pegas itu dan bergegas menuju kamar mandi sebelum pintu itu tertutup lagi untukku, atau lebih jelasnya sebelum Denny berubah pikiran! Wow, di dalam kamar mandi pagi itu, mataku benar-benar bisa terpuaskan menikmati setiap lekukan tubuh Denny yang atletis, mungkin begitu pun sebaliknya, jika Denny menyukai tubuhku juga. Kami berdua benar-benar berbugil ria, tanpa tertutupi oleh sehelai benang pun di tubuh kami.
Sejak hari itu aku jadi keranjingan untuk main-main dan bahkan menginap di rumah Denny, yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku setelah rumah yang dibeli ortuku sendiri. Aku sering belajar bersama di sana, nonton vCD, main PS dan termasuk melakukan "hal-hal" yang menyenangkan. Namun sebetulnya kami lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama kala itu, karena kami sedang dalam persiapan menghadapi Ebtanas.
Sampai akhirnya kami berdua bisa lulus dengan nilai yang boleh dikata memuaskan. Dan aku sadar, bahwa keberhasilan itu juga berkat persahabatan kami. Namun sejak memasuki SMU, kami berpisah. Aku melanjutkan SMU-ku di negeri kangguru, sedangkan Denny hijrah ke Jakarta. Sejak itu kami betul-betul putus hubungan.
Lantas, kalau kalian bertanya dimana Denny sekarang? Sebelum aku menjawabnya, aku ingin bertanya: Percayakah kalian pada apa yang dinamakan "kebetulan yang menyenangkan"? Kalau kalian percaya itu, mungkin semacam itulah yang aku alami ketika tak sengaja aku bertemu dengan Denny di hotel ini dua hari lalu. Kami ternyata sama-sama menginap di hotel yang sama, dan kini Denny sedang bersamaku menghadapi laptop kecil ini. Bahkan yang lebih gila lagi, ia kini sedang asyik memain-mainkan penisku di lidahnya.
"Argh, terus, Den, terus!"
- 이전글 Luck, Laughter, and Lotto: Automating Your Winning Numbers
- 다음글 Dating - What Strive And Do When You're On An Remarkably Bad Date
댓글목록 0
등록된 댓글이 없습니다.